KEDAI KOPI
Oleh : Adam Syahroni
Aku berada di antara orang asing. Di sebuah kedai tua pinggiran kota yang tertata dengan rapi. Kedai tua dengan konsep yang sederhana dekat jalan raya. Berbahan dasar bambu dibalut dengan warna coklat. Kontras dengan segelas kopi bernama Caffe Latte. Beralaskan piring kecil mungil di atas meja coklat tua. Suasana kota begitu terasa. Kendaraan berlalu-lalang di hadapanku. Kelap kelip lampu Ibu kota bersinar membuat bintang di langit merasa teracuhkan. Hanya suara gemuruh mesin bising yang terdengar dan roda-roda penggilas mengikis aspal.
Aku duduk memeluk kaki sebelah kanan. Menghisap sebatang rokok yang berada diantara jari tengah dan telunjuk. Suara musik membuat suasana lebih romantis. Tapi tidak bagi mereka yang datang dengan tumpangan kosong tanpa pasangan. Aku malah berpikiran bahwa suasana ini ternyata tidak romantis tapi anarkis. Itu menurutku. Aku bukannya iri tapi ini sebuah bentuk intimidasi. Seharusnya aku tidak berada di tempat ini. Aku ingin keluar dan pergi meninggalkan kursi kosong bisu di hadapanku. Tapi kaki ini enggan beranjak. Mungkinkah aku telah dijebak? Kakiku kaku seperti batu. Jika memang kesendirian adalah teman sejati, mengapa aku tetap bertahan di tempat ini? Aku memperhatikan beberapa dari orang asing disekeliling. Telah tampak rona wajah bahagia dan canda tawa dengan pasangan mereka. Sementara aku hanya membayangkan bagaimana rasanya menjadi mereka. Hidupku mungkin akan sedikit berubah menjadi lebih indah. Seperti semut yang berkerumun mencumbu gula. Mungkin akan terasa sangat manis.
Kilat dan petir yang menggelegar kompak menyambar ritual palung kontemplasiku. Seorang pemuda jomblo terkutuk yang tak kenal takut jika penolakan intuitif telah terlihat, kini telah siuman. Butiran hujan yang jatuh ke tanah mulai memainkan irama yang senada. Hujan semakin deras mengguyur. Membuat kota jadi ikut tertidur mendengar harmoni hujan. Aku yang dari tadi sibuk menyadap beberapa percakapan sepasang kumbang yang berada disamping kananku. Terdengar sebuah rayuan murahan keluar dari mulut seseorang yang ingin terlihat romantis. Kalimat klasik tapi menurutnya itu puitis. Sementara pengunjung lain yang berada di pojok terlihat sakit karna ganasnya autis. Mungkin karna terlalu asyik bermain dengan kotak sakti miliknya.
Hujan membuat suasana menjadi dingin. Kuseruput segelas kopi hangat yang dari tadi menunggu untuk kukecup. Malam ini aku bercumbu dengan segelas kopi. Kopi Caffe Latte khas Italia ini menyambut bibirku. Rasanya beradu antara manis dan pahit. Demikianlah kopi. Seperti perputaran kehidupan yang terkadang manis dan terkadang juga pahit. Akan terasa manis jika suasana hati menjadi cerah sebagai simbol kesenangan dan kebahagiaan. Tapi aku si pahit dengan suasana hati yang gelap mendung, malang dan menyedihkan.
Dua jam telah berlalu. Tapi hujan belum memperlihatkan simbol stagnan. Aku semakin jenuh untuk berlama-lama duduk dan mengaduk-aduk segelas kopi. Hidup memang tak seindah cerita Cinderella. Pangeran sudah terlalu jenuh menunggu sang putri untuk berdansa.. Malam sudah semakin larut untuk melawan kantuk. Aku harus pulang. Kulangkahkan kakiku keluar dari kedai. Tempat yang telah dia janjikan padaku. Melawan butiran hujan yang menghujam tubuhku. Aku kemudian berlari sekuat tenaga entah kemana, semakin cepat aku berlari semakin keras butiran hujan menghantam kulit tubuhku. Rasanya, aku ingin berlari sepanjang malam. Menikmati tarian hujan yang dipandu oleh angin sebagai komposer. Aku berlari di pinggir jalan kota yang mulai sunyi di telan malam. Tak seperti di siang hari dengan suasana yang ramai. Macet yang berkepanjangan serta suara bising familiar yang bernama klakson. Malam ini hanya terlihat satu atau dua saja robot-robot satwa modern yang berlalu lalang. Satu jam lamanya aku berlari telah cukup membuat kakiku tersengal.
Aku berhenti seiring dengan redanya hujan. Berhenti untuk berlari dan berteduh di sebuah halte menunggu pagi yang diiringi matahari. Aku duduk di ujung kiri halte. Dingin mulai menusuk tubuh. Pakaian basah semakin memperparah hingga menusuk tulang. Sungguh malang diriku melalui malam yang kejam. Dua jam lamanya aku duduk sambil mengayunkan kaki yang dari tadi keram diracun hujan. Kupeluk tubuhku agar bisa sedikit mengurangi rasa dingin. Tapi angin yang berhilir menari-nari kesana kemari menambah rasa dingin. Aku diam membisu mendengarkan suara angin yang bergemuruh. Mataku mulai sayu karna kantuk mulai menyerang tapi kucoba untuk bertahan. Aku mulai berkhayal tak masuk akal. Aku melihat wanita itu dari jauh berlari dan berteduh di halte yang aku singgahi. Rambutnya yang panjang terurai menjadi basah. Dia terlihat cantik sekali malam itu. Aku tau dia akan datang walaupun sedikit terlambat dan mengecewakan. Aku heran padanya. Apakah aku terlihat asing untuknya? Dia sama sekali tidak mengenalku. Wanita itu memandangku sinis tapi tetap saja tak mampu menyembunyikan wajahnya yang manis. Dia kemudian duduk di ujung halte sebelah kanan. Instingnya mengatakan bahwa diriku adalah sebuah ancaman baginya. Aku berdiri melangkahkan kaki yang bergetar untuk menghampirinya. Tapi penglihatan mataku mulai kabur seperti kamera dengan efek blur. Hingga badanku jatuh ambruk dan tak sadarkan diri. Aku mungkin mati malam ini.
Cahaya terang terlihat dari jauh. Aku berjalan mendekati cahaya itu. Semakin aku mengejarnya semakin ia menjauh. Seperti orang yang berusaha melihat telinganya sendiri tanpa bantuan sebuah cermin. Aku terus berlari mendekati cahaya itu. Sepertinya cahaya itu ingin menuntunku ke suatu tempat. Hingga tanpa sadar aku sudah berada di dimensi lain. Sebuah dimensi berwarna-warni yang dipenuhi lukisan pria dengan ekspresi menyedihkan. Pemandangan ini membuatku bergeming memperhatikan keindahan tempat ini. Sekaligus membuatku heran. Karna dimensi yang berwarna-warni ini menyimpan ribuan lukisan ekspresi pria malang. Sebuah keindahan yang diselubungi kepahitan dan kesedihan. Aku berjalan mengitari lukisan-lukisan yang tertata rapi. Lukisan itu tampak nyata. Aku merasa seperti berada di zaman Renaissance. Zaman dimana para pelukis terhebat pada abad 15 dan 16 M melahirkan sebuah adikarya atau masterpiece yang begitu mendunia. Seperti Leonardo Da Vinci, Michaelangelo Buanorroti, Raffaello Santi, dan Donatello. Lukisan yang paling terkenal dan mendunia adalah Monalisa. Sebuah lukisan minyak di atas kayu poplar yang dibuat oleh Leonardo Da Vinci. Lukisan paling terkenal dan fenomenal. Menurut Da Vinci, lukisan adalah segala sesuatu yang terkandung di dalamnya, dasarnya alami dan tidak dapat dilihat oleh mata telanjang, lalu diekspresikan dalam bentuk gambar. Semua lukisan pria di tempat ini terlihat menyedihkan. Ada yang terlihat murung dengan tangan menopang dagu. Ada juga ekspresi menangis dengan menutup mata kanan menegeluarkan air mata yang berwarna-warni, sementara mata kiri mengeluarkan air mata biasa. Dan yang paling menyedihkan adalah lukisan seorang pria bertopeng dengan ekspresi gembira, tapi air mata darah mengalir disekitar sela-sela topeng. Topeng yang seakan menyeruak dan memperlihatkan wujud aslinya. Semua lukisan dipajang secara memanjang. Aku terus berjalan memperhatikan semua lukisan. Hingga aku mencapai ujung lukisan. Kemudian mataku tertuju pada satu lukisan yang membelakang. Tertutupi oleh kain hitam. Dengan rasa penasaran kubuka penutup kain lukisan tersebut. Aku seperti seorang pangeran yang ketakutan mengahadap sang raja. Dan rasa takut itu hilang oleh kecantikan sang putri. Sekali lagi aku bergeming memandangi lukisan ini. Sebuah lukisan wanita yang indah bagai permata. Wanita itu tampak nyata. Aku ingin menyentuhnya. Tapi dia tak nyata. Aku ingin memebelai rambutnya tapi itu hanya berupa klise. Dia bagaikan hologram yang diprogram dalam bentuk lukisan. Lukisan yang mempengaruhi pikiran, menciptakan ilusi semu. Dengan gerakan perlahan aku mencoba menyentuhnya.
Kelopak mataku terbuka secara perlahan. Kulihat sekitar sudut ruangan yang familiar bagiku. Deretan lukisan kini berubah menjadi poster orang-orang besar terpajang rapi di dinding kamarku. Saat itu aku baru menyadari bahwa aku telah bermimpi. Salah satu mimpi teraneh yang pernah aku alami. Dan mungkin akan menjadi salah satu koleksi mimpiku dengan rating yang paling tinggi. Dibandingkan dengan koleksi mimpiku yang lain. Aku seorang kolektor mimpi. Aku koleksi beberapa mimpi mulai dari yang mimpi buruk, menyenangkan, indah, petualangan, hingga mimpi terakhir yang baru saja terjadi. Mimpi yang satu ini belum bisa kunamai. Karna aku sulit menentukan genrenya. Untuk sementara namanya adalah the fusion of dream. Karna merupakan gabungan dari beberapa jenis mimpi yang pernah kualamai sebelumnya. Semua mimpiku kutuangkan dalam bentuk tulisan. Kemudiam aku musiumkan dalam kamarku. Koleksi mimpiku mempunyai tempat tersendiri. Tapi ada yang pelik dari deretan poster di dinding kamarku. Orang- orang besar dari musisi musisi seperti The beatles, Nirvana, dan Rolling Stone. Ilmuan jenius seperti Albert Einstein, Thomas Alva Edison, dan Isaac Newton. Pahlawan Revolusioner seperti Che Guevara, Soekarno, juga Adolf Hitler pahlawan sekaligus penjahat perang. Dan orang besar aparatus atau alat bernama aku ikut andil dalam deretan poster di dinding kamarku. Entah siapa yang baru saja melukis wajahku. Aku melihat lukisan wajahku sendiri terpampang di dinding kamarku. Lukisan dengan ekspresi tertidur pulas. Namun terlihat sedikit senyuman yang terpancar di wajahku. Ekspresi tidur pulas yang berkelas.
Aku adalah seorang mahasiswa dari salah satu Universitas ternama di Makassar. Aku mengambil jurusan sastra dengan harapan akan membuat dunia berubah dengan berkarya. Aku anak tunggal yang tak kenal kata gagal. Tapi tidak dalam hal asmara. Untuk yang satu itu aku selalu gagal. Namaku Andi Aser Literatur. Biasa dipanggil Aser. Alasan mengapa nama belakangku diberi nama literature karna kedua orang tuaku. Ayahku dulu bercita-cita menjadi seorang sastrawan yang hebat. Ketika dia lulus SMA dia ingin kuliah dengan mengambil jurusan sastra. Tapi karna terkendala biaya dia tidak bisa mewujudkan cita-citanya sebagai sastrawan. Literature berasal dari bahasa Inggris yang artinya sastrawan. Itulah alasan mengapa nama belakangku diberi nama Literature. Tapi berkat kegigihan dan kerja keras. Dia mampu bangkit dan berhasil menyekolahkanku hingga seperti ini. Ayahku bekerja di salah satu perusahaan semen di Makassar berkat bantuan sahabatnya. Mungkin karna Ayah adalah orang yang pandai bergaul. Dia mempunyai banyak teman dari orang-orang besar dan berpengaruh di Makassar. sementara kata Aser berasal dari pemberian Ibuku. Kata Aser adalah singakatan dari bahasa Makssar yaitu “anak se’re se’re” atau anak tunggal. Ibu saya dulunya adalah seorang pelukis. Karna dia pernah melanjutkan sekolah dengan berkuliah di salah satu Universitas terkenal di Makassar dengan jurusan Seni Rupa. Berbeda dengan Ayah yang gagal melanjutkan cita-citanya. Tapi setelah menikah dengan Ibu saya dia memutuskan untuk menjadi Ibu rumah tangga saja. Ibu ingin menjadi seorang istri yang baik untuk Ayah.
Sebenarnya apa yang terjadi semalam? Yang aku ingat hanyalah hujan tak berkesudahan. Aku bangun dari tempat tidur dan melihat jam. Waktu menunjukkan pukul 09:40. Aku kemudian bergegas mandi. Kutanggalkan handuk dan menuju cermin. Kupandangi wajah seorang pria berbadan kekar. Wajah tampan menurut kebanyakan orang, tapi itu hanya penilaian mereka. Aku tidak merasa tampan. Keindahan fisik hanyalah sebuah kue donat yang ditaburi seres coklat berwarna-warni. Dan kita tidak menyadari bahwa ada keindahan lain yang tak dapat diindarai. Bersifat non-fisik yang berada ditengah-tengah donat. Sebuah ruang kosong yang tak pernah kita pertanyakan. Ketidakbermaknaan yang teracuhkan. Aku termangu di depan cermin sambil menegernyitkan kening. Mencoba mengingat kembali. Siapa wanita yang kutemui tadi malam? Kenapa aku berada di kamarku? Siapa yang mengantarku pulang? Apakah aku pingsan? Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan ini, bertanya pada penghuni rumah yang lain adalah the best solution. Yang tak lain adalah kedua orang tuaku. Hari ini adalah hari dimana aku akan berperan sebagai detektif dadakan. Mencoba menguak beberapa teka-teki kehidupan yang terjadi semalam. Wanita misterius itu seperti super hero yang tak ingin disebutkan namanya. Who do you think you are?
----- SELESAI ----
0 komentar